
Abdul Hamid adalah nama sebenarnya tetapi dalam tulis menulis dikenal Abdul Karim Amar, lahir di Kertak Hanyar, 10 November 1950. Di peta kesastraan Kalsel termasuk angkatan 70-an. Pada tahun 1977 -1980 bertugas sebagai tenaga Honorer di Studi Pemda Kotabaru. Sejak tahun 1983 sampai sekarang sebagai staf Puskesmas Kecamatan Kertak Hanyar. Aktif sebagai penasehat Persatuan Sahabat Pena Indonesia (PSPI) “Renasa”. Pendiri dan wakil ketua Sanggar Seni “ Ismanye” Kertak Hanyar priode 1974 – 1977. Tahun 1974 pernah juara III lomba mengarang prosa se Kalsel dan Juara I menulis puisi se Kabupaten Kotabaru tahun 1978. Puisi-puisinya dimuat di beberapa media massa, antara lain : SKH Banjarmasin Post, SKH Upaya, SKH Bandarmasih, Buletin NU Kodya Banjarmasin dan antologi puisi penyair Kalimantan Selatan “Tamu Malam” , 1992 .
Kapal akan Berangkat
(Buat Sahabatku Arsyad Indradi)
Arsyad,
usia kita tidak terasa merangkak tua
sudahkah engkau membuat
untuk generasi atau untuk anak isteri
sebelum berangkat menuju liang lahat
Arsyad,
peruntungan engkau lebih daripada nasibku
Engkau sudah punya anak, isteri dan apa lagi
berpangkat serta berpenghasilan tetap
sedang aku masih sendiri
termenung terkadang bingung
perkawinan terlalu mahal untukku
berjuta-juta rupiah menghantar jujuran
kemudian nikah ke penghulu baseran
Arsyad,
aku banyak kehilangan seseuatu
kekasih, cinta, serta puisi yang terbakar
digiring usia terasa pangar
aku renungi masa lalu di mana kita ini
dahulu di RRI di untaian mutiara
sekitar ilmu dan seni
kita ramai membaca puisi demi puisi
Arsyad,
sahabat-sahabat serta petinggi-petinggi kita
sudah menutup mata
Yustan Azidin, Hijaz Yamani, Bachtiar Sanderta
Andi Amrullah, Ismail Effendi
Ajamuddin Tifani entah siapa lagi
dan nanti ke raga kita
lalu apa yang kita bawa
hitungan tasybih, zikir atau shalawat
yang dianjurkan imamul haq
atau seperti Hamid Jabbar yang jatuh terkapar
membaca puisi lalu mati
sedang di
serambut dibelah tujuh
apakah kita akan jatuh
atau kita tidak membawa apa-apa
kecuali raga yang hampa
ah, hari sudah senja kata D. Zaudhidie
dia pun telah pergi
Arsyad,
entah bisikan apa lagi yang datang
menggumuli jendela kamar yang berdebu
seakan terdengar ketukan pintu
tetapi aku selalu ragu
mungkin satu isyarat buatku
atau pertanda yang lelap di pembaringan
jasadku akan ditandu ke pemandian
Arsyad,
aku yang lama terkapar di Puskesmas
cemas dan terhempas
menatap pasien demi pasien dengan harap
minta diobati dari penyakit ke penyakit
sedang aku pun merasa sakit
Arsyad,
di rumah tua bolong peninggalan bunda ini
untung masih ada Mahmud Jauhari Ali
yang sibuk menulis artikel dan puisi
menyemangatiku—katanya
Anjang kapan menulis puisi lagi
Arsyad,
mungkin ini puisiku yang sudah basi
tidak laku dijual atau dikonsumsi
apalagi untuk dinikmati
kecuali di antara kita kini
mari berjabat tangan bermaaf-maafan
sebelum diselimuti kain kafan
(Kertak Hanyar, 5 Mei 2008)
***
Surat dari Desa
Eva,
suratmu berwarna biru telah kuterima
tentang diriku masih seperti dulu-dulu jua
terkurung di kesunyian kampung
sering termenung mencari senandung
Eva,
di sini tidak ada cita-cita sanjana
tidak ada kereta kencana, musik pesta ria
atau cincin emas kawin pertama
Eva,
di sini hanya punya piala tua
cuma tercenung dalam renungan menerawang
yang dinadakan seruling sumbang dari pegunungan
hidup di desa berbimbang dengan kebahagian
namun kutempuh juga segala ancaman dan kenyataan
karena dara-dara di desa berbaju panjang
dan berwajah tenang
(Kertak Hanyar, 5 Mei 2008)
***