Selamat Datang di Kawasan Penyair Serambi Mekah Terima Kasih Kunjungan Anda

Sabtu, 28 Juni 2008

Abdul Karim Amar



Abdul Hamid adalah nama sebenarnya tetapi dalam tulis menulis dikenal Abdul Karim Amar, lahir di Kertak Hanyar, 10 November 1950. Di peta kesastraan Kalsel termasuk angkatan 70-an. Pada tahun 1977 -1980 bertugas sebagai tenaga Honorer di Studi Pemda Kotabaru. Sejak tahun 1983 sampai sekarang sebagai staf Puskesmas Kecamatan Kertak Hanyar. Aktif sebagai penasehat Persatuan Sahabat Pena Indonesia (PSPI) “Renasa”. Pendiri dan wakil ketua Sanggar Seni “ Ismanye” Kertak Hanyar priode 1974 – 1977. Tahun 1974 pernah juara III lomba mengarang prosa se Kalsel dan Juara I menulis puisi se Kabupaten Kotabaru tahun 1978. Puisi-puisinya dimuat di beberapa media massa, antara lain : SKH Banjarmasin Post, SKH Upaya, SKH Bandarmasih, Buletin NU Kodya Banjarmasin dan antologi puisi penyair Kalimantan Selatan “Tamu Malam” , 1992 .

Kapal akan Berangkat

(Buat Sahabatku Arsyad Indradi)

Arsyad,

usia kita tidak terasa merangkak tua

sudahkah engkau membuat surat wasiat

untuk generasi atau untuk anak isteri

sebelum berangkat menuju liang lahat

Arsyad,

peruntungan engkau lebih daripada nasibku

Engkau sudah punya anak, isteri dan apa lagi

berpangkat serta berpenghasilan tetap

sedang aku masih sendiri

termenung terkadang bingung

perkawinan terlalu mahal untukku

berjuta-juta rupiah menghantar jujuran

kemudian nikah ke penghulu baseran

Arsyad,

aku banyak kehilangan seseuatu

kekasih, cinta, serta puisi yang terbakar

digiring usia terasa pangar

aku renungi masa lalu di mana kita ini

dahulu di RRI di untaian mutiara

sekitar ilmu dan seni

kita ramai membaca puisi demi puisi

Arsyad,

sahabat-sahabat serta petinggi-petinggi kita

sudah menutup mata

Yustan Azidin, Hijaz Yamani, Bachtiar Sanderta

Andi Amrullah, Ismail Effendi

Ajamuddin Tifani entah siapa lagi

dan nanti ke raga kita

lalu apa yang kita bawa

hitungan tasybih, zikir atau shalawat

yang dianjurkan imamul haq

atau seperti Hamid Jabbar yang jatuh terkapar

membaca puisi lalu mati

sedang di sana di depan menghadang titian panjang

serambut dibelah tujuh

apakah kita akan jatuh

atau kita tidak membawa apa-apa

kecuali raga yang hampa

ah, hari sudah senja kata D. Zaudhidie

dia pun telah pergi

Arsyad,

entah bisikan apa lagi yang datang

menggumuli jendela kamar yang berdebu

seakan terdengar ketukan pintu

tetapi aku selalu ragu

mungkin satu isyarat buatku

atau pertanda yang lelap di pembaringan

jasadku akan ditandu ke pemandian

Arsyad,

aku yang lama terkapar di Puskesmas

cemas dan terhempas

menatap pasien demi pasien dengan harap

minta diobati dari penyakit ke penyakit

sedang aku pun merasa sakit

Arsyad,

di rumah tua bolong peninggalan bunda ini

untung masih ada Mahmud Jauhari Ali

yang sibuk menulis artikel dan puisi

menyemangatiku—katanya

Anjang kapan menulis puisi lagi

Arsyad,

mungkin ini puisiku yang sudah basi

tidak laku dijual atau dikonsumsi

apalagi untuk dinikmati

kecuali di antara kita kini

mari berjabat tangan bermaaf-maafan

sebelum diselimuti kain kafan

(Kertak Hanyar, 5 Mei 2008)

***

Surat dari Desa

Eva,

suratmu berwarna biru telah kuterima

tentang diriku masih seperti dulu-dulu jua

terkurung di kesunyian kampung

sering termenung mencari senandung

Eva,

di sini tidak ada cita-cita sanjana

tidak ada kereta kencana, musik pesta ria

atau cincin emas kawin pertama

Eva,

di sini hanya punya piala tua

cuma tercenung dalam renungan menerawang

yang dinadakan seruling sumbang dari pegunungan

hidup di desa berbimbang dengan kebahagian

namun kutempuh juga segala ancaman dan kenyataan

karena dara-dara di desa berbaju panjang

dan berwajah tenang

(Kertak Hanyar, 5 Mei 2008)

***

Ceria Seyoshi


Ceria Seyoshi anak pertama dari 3 bersaudara lahir di Mandiangin pada 28 Mei 1988. Berdarah campuran Palembang dan Banjar. Sering mengikuti berbagai lomba baca puisi pada saat duduk di bangku SMK, namun merasa lebih munyukai menulis puisi. Mulai serius menulis puisi pada tahun 2005. Puisi-puisinya dipublikasikan di media lokal, seperti Tabloid Watas Banjarbaru. Masih banyak karya tulisnya akan dipublikasikan dan siap puisi – piusinya akan diantologikan secara tunggal. Ia sebagai juru ketik di Tabloid Watas dan motor penggerak Sanggar Seni Matahari. Bersama komunitasnya sering menampilkan nasid, musikalisasi puisi dan teater.
Sekarang masih duduk di bangku kuliah STMIK Banjarbaru , Jur. Teknik Informatika sem. V
Puisinya antara lain :



Cerita Malam

berguru aku pada waktu
mencari sampah – sampah malam
dikebisuan senja
mengusik sangat lelagnya hantu bersayap
padanyalah angin
meminta izin
agar ludahnya dilean senja
demi kepatuhan kebias sunyi
katanya malam, para pengemis
dan anak – anak emperan
adalah kuncup – kuncup mekar
dipekatnya jantung kota
beserta mereka
butir – butir beruntun penyubur
bumi melengkapi manis atau pahit
perjalanan
lonceng waktu tak berpihak pada kehendak
jam dipusat kota hanya membuntuti
langkah kaki yang kotor
mengalir padanya keringat lapar dan haur

011206


Pagi Bernama Rindu


Awan mengambang di pelataran bumi
menatap jantung hati di kelahiran tanah
dengan segala kuasa
matahari siap menelurkan kecantikan
kepada gadis di bawah peradaban kota
sang lelaki telah ditunggu,
karena secawan perjumpaan di perhelatan senja tahun lalu
bukan hanya keramahan tersaji
di jalinan nafas redup
tiap jalannya darah disela urat – urat tulang daun
mengalirlah, atas nama cinta
kepada jejak – jejak manusia yang ditumbuhi moral dan cinta
pucuk – pucuk cahaya bertabur kemudian
kuanyam menjadi lautan pagi yang merindu

GD, okt 07