Selamat Datang di Kawasan Penyair Serambi Mekah Terima Kasih Kunjungan Anda

Minggu, 12 Oktober 2008

Abdurrahman El Husaini



Abdurrahman El Husaini, lahir di Puruk Cahu Kalimantan Tengah, 1 Januari 1965. Disamping menulis puisi juga menulis essay sastra. Karya- karyanya tersebar di Dinamika Berita (sekarang Kalimantan Post), Banjarmasin Post, dan Radar Banjarmasin dan antologi bersama Ragam Jejak Sunyi Tsunami Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa Balai Bahasa Sumatera Utara Medan 2005, Taman Banjarbaru 2006 dan Seribu Sungai Paris Barantai 2006. Sekarang menetap di “kota intan” Martapura, Kalimantan Selatan.


Doa Putih

(Bagi Hamid Jabbar yang pamit duluan)

Hari-hari terasa semakin siang

Warna-warna lampu pucat melukis angin musim yang diam

Dan ketika sinar bulan mengetuk pintu rumahmu

Senyum fana purnamu menulis puisi keabadian

Putih

Seputih rangkaian melati doa yang kutasbihkan di pusaramu

ALLAAHUMMAGHFIRLAHU WARHAMHU WAAFIHI WA’FUANHU

ALLAAHUMMAGHFIRLAHU WARHAMHU WAAFIHI WA’FUANHU

ALLAAHUMMAGHFIRLAHU WARHAMHU WAAFIHI WA’FUANHU

ALLAAHUMMAGHFIRLAHU WARHAMHU WAAFIHI WA’FUANHU

ALLAAHUMMAGHFIRLAHU WARHAMHU WAAFIHI WA’FUANHU

Ziarah waktu

Tersungkur

Mencium

Keningmu

Amin.

Juni 2004

Membaca Jejak Gerimis

(bagi Mochtar Lubis yang pergi duluan)

Berpuluh-puluh tahun

Kubaca jejak gerimis

Dalam perjalanan nafas anak cucu Adam

Dalam kitab perjanjian nasib

Dari tangis pertamamu

Kulihat perahumu bertambat di dermaga waktu

Diam menerjemahkan makna keabadian

Lukisan sudah sempurna

Lukisan sudah sempurna

Lukisan sudah sempurna

Lukisan sudah sempurna

Lukisan sudah sempurna

Kuartikan senyummu

Pada gerak pena kami

Gemetar merajah doa

Di pintu kembali

Saat

Jasadmu

Melayang

Disembahyangkan

Waktu

Pasayangan,030704.

Tangisan batu

Andai dulu aku tidak merantau

Kita akan selalu hidup bersama

Tapi kini aku batu, ibu.

Andai dulu aku menikah dengan gadis pilihanmu

Engkau tentu sudah menimang cucumu

Tapi kini aku batu, ibu.

Andai dulu aku tidak durhaka

Dan engkau tidak berdoa

Dan Tuhan tidak mengutukku

Dan aku masih anakmu

Tapi kini aku batu, ibu.

Tuhan jangan Kau pindahkan surga itu dari telapak kaki ibuku

Meski kini aku batu

Air mata legenda

Air matamu

Air mataku

Melelehkan getah legenda

Pulanglah batu

Air mata membilas mulut busuk ini

Pulanglah batu

Engkau masih anakku

Pulanglah batu

Surga di bawah telapak kaki ini masih milikmu

Air mataku

Air matamu

Melelehkan getah legenda

Banjarbaru 2008

Akrostid in meditation

Rasa rindu ini

Akan kureguk sehabis-habisnya ampas

Hingga laut tawar rasanya

Mabukku mabukku mabukku mabukku mabukku

Akan terus kukunyah hingga limbung tubuhku seperti

Nyanyian doa yang enggan menggapai puncak amin

Rahman

Tuntaskan dahagamu

Selagi Tuhan menuangkan anggurNya ke dalam gelasmu

Banjarbaru 2008

Doa seorang musafir

AllahuAkbar

Bermula dari takbir yang menyamakan gerak dan puja-puji

Kami bersimpuh di haribaanMu wahai Tuhan sekalian alam

Karena sesungguhnya

Kami hina di hadapanMu

Ya Rabbi yang Maha Mulya

Kami lemah di hadapanMu

Ya Rabbi yang Maha Kuat

Kami miskin di hadapanMu

Ya Rabbi yang Maha Kaya

Ya Allah
Ya Karim

Ya Qawi

Ya Ghani

Ya Allah

Tinggikanlah derajat kami

Kuatkanlah iman dan islam kami

Kayakanlah hati kami

Ya Allah

Yang Maha Pengabul segala doa

Amin

Banjarbaru 06/07/08

Pagi buta dalam sajakku

Pagi buta dalam sajakku

Orang-orang menyalakan lampu

Mengusir kabut

Pandangan hanya sejengkal

Memutar roda hidup

Pagi buta dalam sajakku

Matahari mati

Menyisir kabut

Jalan-jalan sepi

Pagi buta dalam sajakku

Embun beku

Melerai kabut

Jalan-jalan masih sepi

Dalam sajakku

Airmata kami tersungkur memohon hujanMu

Martapura 2006

Menunggu hujan tumpah dalam puisiku

Begitulah kutelusuri jejak-jejak asap

Di lahan-lahan gambut membara

Di hutan-hutan ilalang berkelelatu

Kemarau semakin betah

Hujan semakin pongah

HujanMu hujanMu hujanMu hujanMu hujanMu

Aku tak pernah lelah menunggumu

Tumpah dalam puisiku

Martapura 2006

Klik!

Klik!

Jutaan kilometer dari tangisan anak manusia modern

Klik!

Orang-orang mendepositokan triliunan rasa sesal di bank-bank bencana dan cuaca-cuaca yang ekstrim

Klik!

Simpanan jangka panjang yang membahayakan jutaan nyawa

Klik!

Tanam saja pohon air mata anak cucu kami di muka rumah mewahmu

Klik!

Bangun saja monument isak jerit tangis anak cucu kalian di perempatan nama jalan kebesaranmu

Klik!

Mayat-mayat menggali kuburnya sendiri

Klik!

Mayat-mayat mengubur jasadnya sendiri

Klik!

Mayat-mayat menyembahyangkan ruhnya sendiri

Klik!

Klik!

Tak ada demo

Klik!

Tak ada breaking news

Klik!

Tak ada to days dialogue

Klik!

Semua orang panik menyelamatkan diri sendiri

Klik!

Jutaan nyawa bercengkrama

Klik!

Martapura 2008

Mesjid?

Rumah rindu?

Rumah cinta?

Rumah kasih?

Rumah doa?

Rumah siapa?

Martapura 2008